YayBlogger.com
BLOGGER TEMPLATES

Sabtu, 08 Desember 2012

aku, anak-anak, dan sekolah

beberapa hari yang lalu ibu kepala sekolah meminta kami menuliskan rencana dan atau harapan-harapan berkenaan dengan pendidikan, anak-anak, kelas dan sekolah...
karena baru ingat di pagi hari keesokan harinya, dan deadline nya di jam 11 pagi juga, walhasil jari jari ini mulai menari dengan penuh kesegeraan, meski harus tetap berkutat dengan mengawasi kelas yang sedang UAS....
ga nyangka juga dapet 4 halaman...
isinya entah worther or else, tapi greenicha harap tulisan itu bisa berarti banyak untuk kebaikan...

and here it is...

Oleh : Melissa Madjid, S.KH 

“Pengantar kecil karcis ke gerbang Syurga”      

                   Hari ini mari berbincang tentang tangan-tangan kecil yang biasa menyalami kita di pagi hingga sore menjelang.Mari kita bicara tentang wajah polos yang dibaliknya tersimpan mutiara jernih bernama hati yang bersih.Mereka kecil dan kebanyakan masih mungil, namun mega besar dalam nilai-nilai yang kita putuskan ambil untuk menyelami hidup dan hari-hari bersamanya. 
Saat guru menjadi keputusan besar yang akhirnya diterima, kebahagiaan itu serta merta hadir….melalui tangan-tangan kecil yang selalu menghampiri atau dihampiri. 
Kita putuskan untuk menjejaki dunia mereka yang serba warna dan irama. Sekolah at-taufik adalah gedung berbhineka.Dalam genre dan suara.Dibalik seragam dan jam pulang masuk.Menjadi guru didalamnya menjadi salah satu hal terhebat yang pernah diputuskan. Menjadi guru yang mengkreasikan, mengaduk-aduk dan meracik tangan-tangan kecil itu, hingga keluar dari lingkungan aman mereka dengan bekal Rabbaniyah…Itulah agenda besar aku dan rekan guru lain, dalam hari dan detik yang berdetik. 
Lelah adalah niscaya, namun diam adalah pengalaman yang ditenggelamkan.Selalu ada bicara atau aksi yang berfisik. Atau tangan-tangan yang menjelentik meski tak berisik. Mencetak generasi Rabbani….
Sungguh suatu PR besar di era globalisasi yang sudah bebas masuk.Mendidik anak dengan nuansa yang selalu aktif, demokratis dan kritis adalah tantangan yang nyata.Karna waktu adalah hambatan yang tak pernah maya, karna rangkaian rencana yang terus bertumpuk-tumpuk masih berkelana di meja dan desktop. Bangunan yang terpancang tidak akan kokoh saat satu bata belum dipasang.Maka individu adalah kebutuhan yang mesti untuk menetapkan kokohnya bangunan. Karna bagaimana mungkin generasi ditelurkan, saat bangun tubuh yang satu ringkih. 

Suatu hari kita dibincangkan tentang eksistensi dan apresiasi bagi anak-anak tersayang yang ratusan meramaikan hari demi hari di sekolah ini. Namun semua akan sulit dibangun tanpa menyemai nilai-nilainya di kiri kanannya.Mencoba sendiri memang pekerjaan yang berat dan melelahkan, saat pribadi merasa komunikasi bagi sekitarnya tak berdaya. Ia seakan menjadi pendekar kesepian di kelasnya sendiri, dan di belantara ratusan anak dan sepenuh bangunan yang tinggi. Namun mudah diguncangkan.Membangun cita-cita besar, dibalik impian yang menjulang tinggi, dibalik rencana demi rencana yang ditumpuk rapih, dibalik cuapan yang tak jemu lagi, semuanya membutuhkan effort yang jauh lebih akbar dan azzam yang super kuat dan saling menguatkan.

Itulah mengapa apel bukan sekedar nama bagi buah. Apel juga istilah yang ranum bagi sekumpulan yang saling bertemu dan menularkan gagasan dan energy positif. Meski singkat ia mampu menularkan kekuatan yang melebar. Karena saat Rasulullah saw mengatakan bahwa senyum adalah sedekah meski diam, maka kata-kata manis yang disunggingkan memberikan infaq kekuatan yang tak terhingga.      
      Lembaran evaluasi juga merupakan sebentuk yang dibutuhkan dalam kontinuitas. Karena segala perbaikan seakan buta tanpa analisa kekurangan dan mengedepankan kekuatan di masa mendatang.        
    Maka sebagai sebentuk individu saya pun perlu menegur diri sebagai pribadi yang jauh dari nilai sempurna. Berjuang itu adalah bentuk yang terlalu luas untuk sekedar diartikan sebagai usaha kerja keras. Ada kecerdasan yang perlu terus dipupuk, ada kreatifitas yang perlu terus dicari.Maka sebagai guru matematika di sekolah ini saya belum larut dalam kreatifitas dalam mengajar. Suatu bentuk yang ingin dispontankan diri ini karena anak-anak didik membutuhkan hal yang ‘ingin’ mereka pahami, sementara pola pengajaran konvensional seringkali belum mencoba memasuki dunia mereka.Saya butuhkan sekali itu, dan yang saya tahu saya perlu terus mencari, dan berharap terus difasilitasi.    
         Waktu terlalu sering membatasi gerak curah fikir. Meski masih banyak yang ingin diselami di atas kertas, ada satu hal yang paling sering menggelitik hari dan hati.Yaitu nama yang berdiri disini. Sekolah ini.      Impian bersamakah ini, atau harapan bersamakah ini, saat masjid ini terletak di samping muka gerbang? Bahwa sebagai sebuah ideology yang bukan tanpa sengaja Allah hadirkan berdiri disini hingga kita mampu menyemai makna dibaliknya? Bahwa masjid adalah pusat kita.
Masjid adalah sentral motorik kita.Kita ada ‘karena’ masjid ini.Kita berdiri disini, menempa diri dan berkutat setiap hari disini, dengan atau tanpa menyadari bahwa masjid ini ‘guru’ utama kita.saat sekolah demi sekolah, di kota ini dan belantara negeri ini mengiblatkan diri pada pola pendidikan barat, rasulullah mengajarkan kita untuk selalu dan mengiblatkan diri sebagaimana masjid ini berarah.Kita mengajarkan mereka aktif dan kritis sebagaimana demokrasi barat berbicara, namun adab demi adab yang yang memaknai keaktifan dan kekritisan sejak Rasulullah saw dan para ustadz dan ulama besar telah dilestarikan berabad-abad dalam kejayaan yang membuktikan kontribusi besar dan keharuman nama yang tak pernah silau oleh keredupan jaman.Maka saat kita menanggalkan ketertiban dalam masjid, mulai dari sandal dan sepatu yang berserakan, hingga shaf yang renggang dan shalat yang terlambat, perlu kita renungi akan nilai apa yang seharusnya kita abadikan.Keberhasilan mereka adalah pembuahan bertahun-tahun negeri kecil kita. Sekolah ini. 
Kesuksesan sejati mereka bukanlah dari skor tertinggi di kota ini, mengalahkan seluruh nilai di negeri-negeri tetangga dan sewilayah, melainkan ketika mereka bermental baja, tetap kukuh dibalik seragam dan jilbab, tetap membaca Al Qur’an dan qiroaty setiap hari serta tak pernah tinggal shalat yang wajib, adalah agenda terberat, karena teramat sering ditenggelamkan nilai-nilai globalisasi yang terlampau dihebatkan orangtua dan dunia.
Maka mari kita kembali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar